Senin, 15 November 2010

Stakeholders Diseminasi Malaria dan PD3I


Stakeholders dan Peranannya dalam Diseminasi Malaria dan PD3I
Diseminasi adalah Penyebarluasan informasi surveilans kepada pihak yang berkepentingan (stakeholders), agar dapat dilakukan action secara cepat dan tepat. Penyakit malaria dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi membutuhkan program-program untuk pencegahan dan pemberantasan. dalam pelaksanaan program ini dibutuhkan bantuan dari berbagai pihak. maka pelaksanaan program ini memerlukan diseminasi terhadap berbagai stakeholder terkait.
1.      Diseminasi Penyakit Malaria
a.       Dinas Kesehatan
1)      P2P (Program Pemberantasan Penyakit ) : orang-orang didalam lingkup P2P mereka akan bertindak memberantas penyakit malaria dilihat dari vektor nyamuknya.
2)      Sanitasi Lingkungan : orang-orang didalam lingkup sanitasi lingkungan akan membenahi sistem sanitasi di daerah yang bermasalah, contohnya daerah yang memiliki genangan air limbah domestik yang tidak tepat maka sanitarian berhak memikirkan masalah ini.
3)      Promosi Kesehatan  : Divisi ini berperan mempromosikan hidup sehat agar terhindar dari penyakit malaria. Contohnya mempromosikan bersih-bersih selokan atau parit, membabat tanaman-tanaman yang terlalau lebat (yang berpotensi sebagai habitat nyamuk Anopheles).
b.      Pemerintahan
1)      Bupati : memberikan surat keputusan atau kebijakan kepada setiap kecamatan agar berperan aktif dalam pemberantasan penyakit malaria.
2)      Kecamatan : memberikan surat keputusan atau kebijakan dari bupati kepada desa / kelurahan.
3)      Kelurahan : melaksanakan surat keptusan atau kebijakan mengenai pemberantasan malaria dengan cara memberitahukan kepada perangkat desa, dan organisasi sosial yang ada, seperti posyandu, PKK, dan perkumpulan-perkumpulan yang lain.
c.       Dinas Perkebunan
Dinas perkebunan berperan dalam penataan tanaman perkebunan, sehingga dapat mengurangi habitat nyamuk Anopheles.

2.      Diseminasi Penyakit PD3I
a.       Dinas Pendidikan                                     
Peran Dinas pendidikan dalam hal ini adalah membuat kebijakan tentang imunisasi di sekolah yang pelaksanaannya akan dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dalam melaksanakan BIAS ( Bulan Imunisasi Anak Sekolah) , hal ini dilakukan karena sasaran dari imunisasi adalah anak usia sekolah dan dilaksanakan di sekolah.
b.      Dinas Kesehatan
Sebagai pelaksanan utama dari program PD3I melalui beberapa program antara lain:
1)      Program KIA
Program imunisasi termasuk program kerja KIA yang sudah memiliki ketentuan dan jadwal. Didalam pelaksanaan imunisasi Program KIA membutuhkan bantuan orang-orang  Promosi Kesehatan untuk mensosialisasikan pentingnya imunisasi kepada masyarakat.
2)      Program pemberantasan  penyakit
Polio merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam program pemberantasan penyakit . salah satu metode pemberantasan penyakit polio adalah dengan imunisasi., oleh karena itu Program pemberantasan penyakit membutuhkan KIA karena cakupan dari imunisasi polio adalah anak-anak.
3)      Posyandu                 
Posyandu sebagai pelaksana program kesehatan Ibu dan anak  di masyarakat. Setiap desa memiliki kader posyandu yang berfungsi mensosialisasikan dan melaksanakan program KIA(imunisasi)  di desa tersebut. masyarakat lebih mudah didekati oleh para kader dari desa mereka sendiri dari pada petugas kesehatan.


c.       PKK
Sasaran imunisasi mayoritas merupakan bayi dan anak usia sekolah dimana ibu memiliki peranan penting dalam menyukseskan imunisasi tersebut, pengetahuan ibu tentang imunisasi dapat empengaruhi kesediaan ibu untuk mengimunisasikan anaknya. Peran ibu –ibu PKK adalah untuk memberikan pemahaman kepada warganya (ibu-ibu) tentang imunisasi. Namun sebelumnya ibu- ibu PKK terlebih dahulu diberi pengetahuan mengenai imunisasi dari puskesmas atau petugas kesehatan

d.      Departemen Agama
Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Departemen Agama menetapkan bahwa calon pengantin wanita telah diberi imunisasi TT. Hal ini telah dimasukkan dalam Peraturan Daerah tentang pemeriksaan calon pengantin. Kerjasama yang lain adalah pemberian imunisasimeningitispadacalonibadahhaji

e.       Dinas Tenaga Kerja
Dinas Kesehatan dan Dinas Tenaga Kerja bekerjasama dalam pemberian vaksin tetanus toksoid pada tenaga kerja wanita usia subur. Selain itu, dilakukan kerja sama dalam program Pemberian vaksin pada tenaga kerja yang mendapat paparan virus. Misalnya pemberian vaksin rabies pada pekerja yang bekerja dengan hewan.

Selasa, 02 November 2010

Macam-macam Desain Penelitian

1. Penelitian cross-sectional (Lintas-Bagian)


Penelitian lintas-bagian adalah penelitian yang mengukur prevalensi penyakit~ Oleh karena itu seringkali disebut sebagai penelitian prevalensi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan penyakit dengan paparan dengan cara mengamati status paparan dan penyakit secara serentak pada individu dan populasi tunggal pada satu saat atau periode tertentu.
Penelitian lintas-bagian relatif lebih mudah dan murah untuk dikerjakan oleh peneliti dan amat berguna bagi penemuan pemapar yang terikat erat pada karakteristik masing-masing individu. Data yang berasal dari penelitian ini bermanfaat untuk: menaksir besarnya kebutuhan di bidang pelayanan kesehatan dan populasi tersebut. instrumen yang sering digunakan untuk memperoleh data dilakukan melalui: survei, wawancara, dan isian kuesioner.
Kelebihan penelitian lintas-bagian adalah: mudah untuk dilakukan, murah, dan tidak memaksa subyek untuk mengalami faktor yang diperkirakan bersifat merugikan kesehatan (faktor resiko) dan tidak ada subyek yang kehilangan kesempatan untuk memperoleh terapi yang diperkirakan bermanfaat.
Kelemahan penelitian lintas-bagian adalah memiliki validitas inferensi yang lemah dan kurang mewakili sejumlah populasi yang akurat, oleh karena itu penelitian ini tidak tepat bila digunakan untuk menganalisis hubungan kausal paparan dan penyakit.
Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali, tidak ada follow up, untuk mencari hubungan antara variabel independen (faktor resiko) dengan variabel dependen (efek).
Kalau ditanyakan tentang dimana titik potongnya? Bayangkanlah penelitian itu seperti lontong, dimanapun kamu memotong lontong itu, di tengah, dari ujungnya, di sisi manapun itu, lontong itu tetap memiliki isi yang sama, besar yang sama, dan rasa yang sama.
Sebagai contoh, dalam salah satu bedah jurnal penelitian di IKGM hari kamis lalu, tentang salah satu penelitian tentang fluorosis yang dilakukan pada anak usia 10-12 tahun di Brazil yang tinggal di daerah yang belum memperoleh fluoridasi air minum. Sebenarnya penelitian itu adalah penelitian lanjutan, dan penelitian dilakukan sebelum program fluoridasi air minum buatan dilaksanakan, mereka berusaha menyelidiki apa penyebab kecenderungan fluorosis tersebut, suspect utamanya adalah penggunaan pasta gigi berfluorida. Para peneliti melakukan pemeriksaan klinis rongga mulut dan aplikasi kuesioner. [seperti itulah garis besarnya]
Dalam penelitian cross-sectional tersebut, titik potongnya terletak pada “anak-anak usia 10-12 tahun penderita fluorosis di daerah yang air minumnya belum terfluoridasi.”
Jadi, dalam penelitian cross-sectional, karakteristik sampel yang sama saat penelitian dilakukan adalah titik potongnya.

Langkah-langkah penelitian cross sectional adalah sebagai berikut :
a.Mengidentifikasi variable-variabel penelitian dan mengidentifikasi factor resiko dan factor efek
b.Menetapkan subjek penelitian.
c.Melakukan observasi atau pengukuranvariabel-variabel yang merupakan factor resiko dan factor efek sekaligus berdasrkan status keadaan varibel pada saat itu (pengumpulan data).
d.Melakukan analisis korelasi dengan cara membandingkan proporsi antar kelompok-kelompok hasil observasi (pengukuran).
Keuntungan penelitian Cross Sectional :
Mudah dilaksanakan, sederhana, ekonomis dalam hal waktu, dan hasil dapat diperoleh dengan cepat dan dalam waktu bersamaan dapat dikumpulkan variabel yang banyak, baik variabel resiko maupun variabel efek.
Kekurangan penelitian Cross Sectional :
a.Diperlukan subjek penelitian yang besar
b.Tidak dapat menggambarkan perkembangan penyakit secara akurat
c.Tidak valid untuk meramalkan suatu kecenderungan
d.Kesimpulan korelasi faktor resiko dengan faktor efek paling lemah bila dibandingkan dengan dua rancangan epidemiologi yang lain.
Contoh : Mengetahui hubungan antara anemia besi pada ibu hamil dengan Berat Badan Bayi Lahir (BBL), dengan menggunakan rancangan atau pendekatan cross sectional.
Tahap pertama : Mengidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti dan kedudukanya masing-masing.
- Variabel dependen (efek ) : BBL
- Variebel independen (risiko ) : anemia besi.
- Variabel independent (risiko) yang dikendalikan : paritas, umur ibu, perawatan kehamilan, dan sebagainya.
Tahap kedua : menetapkan subjek penelitian atau populasi dan sampelnya.
Subjek penelitian : ibu-ibu yang baru melahirkan, namun perlu dibatasi daerah mana ereka akan diambil contohnya lingkup rumah sakit atau rumah bersalin. Demikian pula batas waktu dan cara pengambilan sampel, apakah berdasarkan tekhnik random atau non-random.

Tahap ketiga : Melakukan pengumpulan data, observasi atau pengukuran terhadap variabel dependen-independen dan variabel-variabel yang dikendalikan secara bersamaan (dalam waktu yang sama).
Caranya mengukur berat badan bayi yang sedang lahir, memeriksa Hb ibu, menanyakan umur, paritas dan variabel-variabel kendali yang lain.
Tahap keempat : Mengolah dan menganalisis data dengan cara membandingkan. Bandingkan BBL dengan Hb darah ibu. Dari analisis ini akan diperoleh bukti adanya atau tidak adanya hubungan antara anemia dengan BBL.

2. Penelitian Kasus Kontrol (case control)
Penelitian kasus kontrol adalah rancangan epidemiologis yang mempelajari hubungan antara paparan (amatan penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Ciri penelitian ini adalah: pemilihan subyek berdasarkan status penyakitnya, untuk kemudian dilakukan amatan apakah subyek mempunyai riwayat terpapar atau tidak. Subyek yang didiagnosis menderita penyakit disebut: Kasus berupa insidensi yang muncul dan populasi, sedangkan subyek yang tidak menderita disebut Kontrol. Jenis penelitian ini dapat saja berupa penelitian restrospektif bila peneliti melihat ke belakang dengan menggunakan data yang berasal dari masa lalu atau bersifat prospektif bila pengumpulan data berlangsung secara berkesinambungan sering dengan berjalannya waktu. Idealnya penelitian kasus kontrol itu menggunakan kasus (insiden) baru untuk mencegah adanya kesulitan dalam menguraikan faktor yang berhubungan dengan penyebab dan kelangsungan hidup.
Tahap-tahap penelitian Case control:
a.Identifikasi variable-variabel penelitian ( factor resiko dan efek )
b.Menetapkan objek penelitian ( populasi dan sampel )
c.Identifikasi kasus
d.Pemilihan subjek sebagai kontrol
e.Melakukan pengukuran retrospektif ( melihat ke belakang ) untuk melihat faktor resiko
f.Melakukan analisis dengan membandingkan proporsi antara variabel-variabel objek penelitian dengan variabel-variabel kontrol.
Kelebihan Rancangan Penelitian Case Control:
a.Adanya kesamaan ukuran waktu antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol
b.Adanya pembatasan atau pengendalian faktor resiko sehingga hasil penelitian lebih tajam dibanding hasil rancangan cross sectional

c.Tidak menghadapi kendala etik seperti pada penelitian eksperimen (kohort)
d.Tidak memerlukan waktu lama ( lebih ekonomis )
Kekurangan Rancangan Penelitian Case Control:
a.Pengukuran variabel yang retrospective, objektivitas, dan reabilitasnya kurang karena subjek penelitian harus mengingatkan kembali faktor-faktor resikonya.
b.Tidak dapat diketahui efek variabel luar karena secara teknis tidakdapat dikendalikan.
c.Kadang-kadang sulit memilih kontrol yang benar-benar sesui dengan kelompok kasusu karena banyaknya faktor resiko yang harus dikendalikan.

Contoh : Penelitian ingin membuktikan hubungan antara malnutrisi/ kekurangan gizi pada anak balita dengnan perilaku pemberian makanan oleh ibu.
Tahap pertama : Mengidentifikasi variabel dependen ( efek ) dan variabel- variabel independen (faktor resiko ).
- Variabel dependen : malnutrisi
- Variabel independen : perilaku ibu dalam memberikan makanan.
- Variabel independen yang lain : pendidikan ibu, pendapatan keluarga, jumlah anak, dan sebagainya.
Tahap kedua : Menetapkan objek penelitian, yaitu populasi dan sampel penelitian. Objek penelitian disini adalah pasangan ibu dan anak balitanya. Namun demikian perlu dibatasi pasangan ibu dan balita daerah mana yang dianggap menjadi populasi dan sampel penelitian ini.
Tahap ketiga : Mengidentifikasi kasus, yaitu anak balita yang menderita malnutrisi (anak balita yang memenuhi kebutuhan malnitrisi yang telah ditetapkan, misalnya berat per umur dari 75 % standar Harvard. Kasus diambil dari populasi yang telah ditetapkan .
Tahap keempat : Pemilihan subjek sebagai kontrol, yaitu pasangan ibu-ibu dengan anak balita mereka. Pemilihan kontrol hendaknya didasarkan kepada kesamaan karakteristik subjek pada kasus. Misalnya ciri-ciri masyarakatnya, sosial ekonominya dan sebagainya.
Tahap kelima : Melakukan pengukuran secara retrospektif, yaitu dari kasusu (anak balita malnutrisiI itu diukur atau ditanyakan kepada ibu dengan menggunakan metose recall mengenai perilaku memberikan jenis makanan , jumlah yang diberikan kepada anak balita selama 24 jam.
Tahap keenam : Melakukan pengolahan dan analisis data . Dengan membandingkan proporsi perilaku ibu yang baik dan yang kurang baik dalam hal memberikan makanan kepada anaknya pada kelompok kasus, dengan proporsi perilaku ibu yang sama pada kelompok kontrol. Dari sini akan diperoleh bukti ada tidaknya hubungan perilaku pemberian makanan dengan malnutrisi pada anak balita.


3. Penelitian Cohort (Penelitian Prospektif )
PENELITIAN COHORT (PENELITIAN PROSPEKTIF ) merupakan suatu penelitian survei ( non ksperimen ) yang paling baik dalam menghubungkan antara faktor resiko dengan efek ( Penyakit ). Penelitian cohort digunakan untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek melalui pendekatanlongitudinal ke depan atau prospektif. Artinya faktor resiko yang akan dipelajari diidentifikasi dulu kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek, yaitu : penyakit atau salah satu indikator status kesehatan.
Penelitian Cohort membandingkan proporsi subjek yang menjadi sakit ( efek positif ) antara kelompok subjek yang diteliti dengan faktor positif dengan kelompok subjek dengan faktor resiko negatif ( kelompok kontrol ).
Penelitian observasional analitik yang didasarkan pada pengamatan sekelompok penduduk tertentu dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini kelompok penduduk yang diamati merupakan kelompok penduduk dengan 2 kategori tertentu yakni yang terpapar dan  atau  yang tidak terpapar terhadap faktor yang dicurigai sebagai faktor penyebab. Penelitian ini (cohort) adalah kebalikan dari case control. faktor resiko (penyebab) telah diketahui terus diamati secar terus menerus  akibat yang akan ditimbulkannya.
Langkah-langkah pelaksanan penelitian cohort:
a.Identifikasi faktor-fakor rasio dan efek
b.Menetapkan subjek penelitian ( menetapkan populasi dan sampel )
c.Pemilihan subjek dengan faktor resiko positif dari subjek dengan efek negatif
d.Memilih subjek yang akan menjadi anggota kelompok kontrol
e.Mengobservasi perkembangan subjek sampai batas waktu yang ditentukan, selanjutnya mengidentifikasi timbul tidaknya efek pada kedua kelompok
f.Menganalisis dengan membandingkan proporsi subjek yang mendapatkan efek positif dengan subjek yang mendapat efek negatif baik pada kelompok resiko positif maupun kelompok kontrol.
Keunggulan Penelitian Cohort
a.Dapat mengatur komparabilitas antara dua kelompok (kelompok subjek dan kelompok kontrol) sejak awal penelitian.
b.Dapat secara langsung menetapkan besarnya angka resiko dari suatu waktu ke waktu yang lain.
c.Ada keseragaman observasi, baik terhadap faktor resiko maupun efek dari waktu ke waktu.
d.Bebas bias seleksi dan recall bias.
e.Outcome tidak mempengaruhi seleksi.
f.Dapat dipelajari sejumlah efek secara serentak.
Kekurangan Penelitian Cohort
a.Memerlukan waktu yang cukup lama
b.Memerlukan sarana dan pengelolaan yang rumit
c.Kemungkinan adanya subjek penelitian yang drop out dan akan mengganggu analisis hasil
d.Ada faktor resiko yang ada pada subjek akan diamati sampai terjadinya efek (mungkin penyakit) maka hal ini berarti kurang atau tidak etis.
e.Relatif mahal.
f.Extraneous variabel kadang sukar dikontrol.
g.Ukuran sampel sangat besar untuk penyakit yang jarang.
Contoh : Penelitian yang ingin membuktikan adanya hubungan antara Ca paru (efek) dengan merokok (resiko) dengan menggunakan pendekatan atau rancangan prospektif.
Tahap pertama : Mengidentifikasi faktor efek (variabel dependen) dan resiko (variabel independen) serta variabel-variabel pengendali (variabel kontrol).
- Variabel dependen : Ca. Paru
- Variabel independen : merokok
- Variabel pengendali : umur, pekerjaan dan sebagainya.
Tahap kedua : Menetapkan subjek penelitian, yaitu populasi dan sampel penelitian. Misalnya yang menjadi populasi adalah semua pria di suatu wilayah atau tempat tertentu, dengnan umur antara 40 sampai dengan 50 tahun, baik yang merokok maupun yang tidak merokok.
Tahap ketiga : Mengidentifikasi subjek yang merokok (resiko positif) dari populasi tersebut, dan juga mengidentifikasi subjek yang tidak merokok (resiko negatif) sejumlah yang kurang lebih sama dengan kelompok merokok.

Tahap keempat : Mengobservasi perkembangan efek pada kelompok orang-orang yang merokok (resiko positif) dan kelompok orang yang tidak merokok (kontrol) sampai pada waktu tertentu, misal selama 10 tahun ke depan, untuk mengetahui adanya perkembangan atau kejadian Ca paru.
Tahap kelima : Mengolah dan menganalisis data. Analisis dilakukan dengan membandingkan proporsi orang-orang yang menderita Ca paru dengan proporsi orang-orang yang tidak menderita Ca paru, diantaranya kelompok perokok dan kelompok tidak merokok.


Kamis, 21 Oktober 2010

Ukuran-ukuran Epidemiologi Frekuensi Penyakit

Mengukur kejadian penyakit, cacad ataupun kematian pada populasi. Merupakan dasar dari epidemiologi deskriptif. Frekuensi kejadian yang diamati diukur dengan menggunakan Prevalens dan Incidens. Ukuran-ukuran frekuensi penyakit menggambarkan karakteristik kejadian (“occurrence”) suatu penyakit atau masalah kesehatan didalam populasi.
1. Proporsi :
Digunakan untuk melihat komposisi suatu variabel dalam populasinya. Apabila menggunakan angka dasar (konstanta) adalah 100, maka disebut persentase.
Ciri proporsi :
•         Tidak mempunyai satuan (dimensi), karena satuan dari pembilang dan penyebutnya sama, sehingga saling meniadakan.
•         Nilainya antara 0 dan 1
2. Rate :
•         Adalah perbandingan antara jumlah kejadian terhadap jumlah penduduk yang mempunyai risiko terhadap kejadian tersebut yang menyangkut interval waktu tertentu. Rate untuk menyatakan dinamika atau kecepatan kejadian dalam suatu populasi masyarakat tertentu. Rate merupakan konsep yang lebih kompleks  dibandingkan dengan dua bentuk pecahan yang terdahulu.
•         Rate yang sesunguhnya merupakan kemampuan berubah suatu kuantitas bila terjadi perubahan pada kuantitas lain.
•         Kuantitas lain yang digunakan sebagai patokan ini biasanya adalah kuantitas waktu.
•         Bentuk ukuran ini sering dicampuradukkan penggunaannya dengan proporsi.
•         Contoh: Kecepatan mobil pada satu saat tertentu bentuknya adalah suatu rate.
•         kecepatan sebuah mobil yang sedang berjalan dapat berubah setiap saat, maka yang diukur adalah kecepatan rata-rata dari mobil tersebut.
•         kecepatan (speed) diukur dengan membagi jarak tempuh mobil tersebut dengan waktu yang digunakan untuk mencapainya.
•         Misalnya: Jakarta-Bogor yang jaraknya 60 Km ditempuh dalam waktu 1 jam.
•         Maka kecepatan mobilnya = 60 Km per jam.
Ciri rate :
•         Mempunyai satuan ukuran, yaitu per satuan waktu.
•         Besarnya tidak terbatas. Secara teoritis nilainya terbentang antara 0 sampai tak terhingga.
3. RATIO
Merupakan perbandingan antara 2 kejadian atau 2 hal antara numerator dan denominator tidak ada sangkut pautnya. Ratio merupakan pecahan yang pembilangnya bukan merupakan bagian dari penyebutnya. Ini yang membedakannya dengan proporsi. Ratio menyatakan hubungan antara pembilang dan penyebut yang berbeda satu dengan yang lain.
Jenis ratio :
a.       .Ratio yang mempunyai satuan, misalnya:
–        Jumlah dokter per 100.000 penduduk
–        Jumlah kematian bayi selama setahun per 1.000 kelahiran    hidup.
b.      Ratio yang tidak mempunyai satuan oleh karena pembilang dan penyebutnya mempunyai satuan yang sama, misalnya:
_ Ratio antara satu  proporsi dengan proporsi lain atau ratio antara satu rate dengan rate yang lain, contohnya Relative Risk dan Odds Ratio
4. Prevalence
Prevalence adalah proporsi populasi yang sedang menderita sakit pada satu saat tertentu.
Prevalens = jumlah individu yang sedang sakit pada saat tertentu per jumlah individu pada populasi tersebut pada saat tertentu
Ciri prevalence :
•         berbentuk proporsi
•         tidak mempunyai satuan
•         besarnya antara 0 dan 1
Jenis prevalence :
•            Point Prevalence
–      Point Prevalens, yaitu probabilitas dari individu dalam populasi berada dalam keadaan sakit pada satu waktu tertentu
•            Period Prevalence
–          Period Prevalens yaitu proporsi populasi yang sakit pada satu periode tertentu.
Kegunaan prevalence :
•  Untuk menentukan situasi penyakit yang ada pada satu waktu tertentu
•  Untuk merencanakan fasilitas kesehatan dan ketenagaan
5. Insidence
a.       Cumulative insidence/insidence risk (mengukur risiko untuk sakit )
Probabilitas dari seorang yang tidak sakit untuk menjadi sakit selama periode waktu tertentu, dengan syarat orang tersebut tidak mati oleh karena penyebab lain. Risiko ini biasanya digunakan untuk mengukur serangan penyakit yang pertama pada orang sehat tersebut. Misalnya : Insidens penyakit jantung mengukur risiko serangan penyakit jantung pertama pada orang yang belum pernah menderita penyakit jantung.
Cumulative Incidence = jumlah kasus baru per jumlah populasi pada permulaan periode
Baik pembilang maupun penyebut yang digunakan dalam perhitungan ini adalah individu yang tidak sakit pada permulaan periode pengamatan, sehingga mempunyai risiko untuk terserang. Kelompok individu yang berisiko terserang ini disebut population at risk atau populasi yang berisiko.
Ciri cumulative incidence :
•         Berbentuk proporsi
•         Tidak memilik satuan
•         Besarnya berkisar antara 0 dan 1
a.       Insidence rate /insidence density (mengukur kecepatan untuk sakit)
–        Insidens rate dari kejadian penyakit adalah potensi perubahan status penyakit per satuan waktu, relative terhadap besarnya populasi individu yang sehat pada waktu itu. Menyatakan suatu jumlah kasus baru per orang-waktu
Ciri Insidence Rate :
•  Mempunyai satuan, yaitu per waktu. Tanpa satuan ini insidens density kehilangan maknanya
•  Besarnya berkisar antara 0 sampai tak terhingga
Yang diukur Insidence rate :
•         Jumlah orang yang berpindah status dari tidak sakit ke status sakit selama periode waktu tertentu merupakan hasil paduan antara tiga faktor, yaitu
–        Ukuran besarnya populasi
–        Lama periode pengamatan
–        Kekuatan penyebaran penyakit (force of morbidity)
•         Oleh karena besarnya populasi dan lama periode pengamatan telah ditentukan oleh pengamat/peneliti, maka yang diukur dengan insidens density ini adalah kekuatan penyebaran penyakit (Force of Morbidity).
6. Attack rate
Jenis khusus insidens kumulatif yang berguna selama epidemic.
Contoh
Makanan       Makan AR/M  Tidak Makan AR/TM
Sakit Tidak sakit
Sakit Tidak Sakit
Salad 30 70 30/100 5 35 5/40
Krecek 16 84 16/100 4 21 4/25

Kriteria kausalitas menurut Bradford Hill

Kriteria kausalitas (hubungan sebab akibat) menurut Bradford Hill (1897-1991) membuat kriteria dari suatu faktor sehingga faktor tersebut dapat dikatakan sebagai faktor yang mempunyai hubungan kausal.
Kriteria tersebut adalah :
1. Kekuatan asosiasi (kekuatan hubungan)
2. Konsistensi
3. Spesifisitas
4. Hubungan temporal
5. Efek dosis respon (respon tehadap dosis)
6. Biologic plausibility atau kelayakan biologis (masuk akal)
7. Koherensi bukti-bukti
8. Bukti Eksperimen
9. Analogi
Penjelasan Kriteria Bradford Hill
1. Kekuatan asosiasi : semakin kuat asosiasi, maka emain sedikit hal tersebut dapat merefleksikan pengaruh dari faktor-faktor etiologis lainnya. Kriteria ini membutuhkan juga presisi statistik (pengaruh minimal dari kesempatan) dan kekakuan metodologis dari kajian-kajian yang ada terhadap bias (seleksi, informasi, dan kekacauan)
2. Konsistensi : replikasi dari temuan oleh investigator yang berbeda, saat yang berbeda, dalam tempat yang berbeda, dengan memakai metode berbeda dan kemampuan untuk menjelaskan dengan meyakinkan jika hasilnya berbeda.
3. Spesifisitas dari asosiasi : ada hubungan yang melekat antara spesifisitas dan kekuatan yang mana semakin akurat dalam mendefinisikan penyakit dan penularannya, semakin juat hubungan yang diamati tersebut. Tetapi, fakta bahwa satu agen berkontribusi terhadap penyakit-penyakit beragam bukan merupakan bukti yang melawan peran dari setiap penyakit.
4. Temporalitas : kemampuan untuk mendirikan kausa dugaan bahka pada saat efek sementara diperkirakan
5. Tahapan biologis : perubahan yang meningkat dalam konjungsi dengan perubahan kecocokan dalam penularan verifikasi terhadap hubungan dosis-respon konsisten dengan model konseptual yang dihipotesakan.
6. Masuk akal : kami lebih siap untuk menerima kasus dengan hubungan yang konsisten dengan pengetahuan dan keyakinan kami secara umum. Telah jelas bahwa kecenderungan ini memiliki lubang-lugang kosong, tetapi akal sehat selalu saja membimbing kita
7. Koherensi : bagaimana semua observasi dapat cocok dengan model yang dihipotesakan untuk membentuk gambaran yang koheren?
8. Eksperimen : demonstrasi yang berada dalam kondisi yang terkontrol merubah kausa bukaan untuk hasil yang merupakan nilai yang besar, beberapa orang mungkin, mengatakannya sangat diperlukan, untuk menyimpulkan kausalitas.
9. Analogi : kami lebih siap lagi untuk menerima argumentasi-argumentasi yang menyerupai dengan yang kami dapatkan.
  • Kekuatan asosiasi
- Ekses-ekses yang telah diketahui sebelumnya dari penyakit dan diasosiasikan dengan bukaan
- Besaran dari rasio kejadian bukaan terhadap kejadian tidak ada bukaan
- Seberapa kuatkah “kuat” itu?
  • Konsistensi
Asosiasi telah “diamati berulang kali oleh orang yang berbeda, tempat yang berbeda, keadaan dan waktu yang berbeda pula”Konsistensi membantu dalam perlindungan dari munculnya kesalahan atau artefak. Tetapi hasil yang diobservasi dengan konsisten tidak langsung bebas dari bias, terutama dalam sejumlah kecil kajian, dan hasil dalam populasi yang berbeda akan sama sekali berbeda jika hubungan kausal dipengaruhi olhe ada atau tidak adanya variabel-variabel pemodifikasi.
  • Spesifisitas
Hubungan antara bukaan dan penyakit adalah spesifik dalam beragam cara-penyakit spesifik terhubung dengan bukaan yang spesifik pula, tipe spesifik dari bukaan lebih efektif, dan seterusnya. Ada hubungan dekat antara spesifisitas dan kekuatan dimana didefinisikan lebih akurat untuk penyakit dan bukaan, akan semakin kuat resiko relatif yang diobservasi. Tetapi adanya fakta bahwa satu agen berkontribusi terhadap banyak penyakit bukan merupakan bukti yang menyanggah perannya dalam setiap penyakit. Sebagai contoh, rokok dapat menyebabkan banyak penyakit.
  • Temporalitas
Pertama adalah bukaan, kemudian penyakit.
Terkadang sangat sulit untuk mendokumentasikan rangkaian, terutama jika ada tundaan yang panjang antara bukaan dan penyakit, penyakit subklinis, bukaan (misalnya perlakuan) yang membawa manifestasi awal dari penyakit.
  • Tahapan Biologis
Verifikasi terhadap hubungan respon-dosis konsisten dengan model konseptual hipotesis.
  • Masuk akal
Apakah asosiasi masuk akal secara biologis. Misalnya, estrogen dan kanker endometrial, estrogen dan kanker payudara, kontrasepsi oral dan kanker payudara.
  • Koherensi
Apakah interpretasi kausal cocok dengan fakta yang diketahui dalam sejarah alam dan biologi dari penyakit, termasuk juga pengetahuan tentang distribusi dari bukaan dan penyakit (orang, tempat, waktu) dan hasil dari eksperimen laboratorium. Apakah semua “potongan telah cocok tempatnya”
  • Bukti-bukti eksperimental
Beberapa tipe desain kajian dapat memberikan bukti yang lebih meyakinkan dibanding desain kajian jenis lainnya. Kajian-kajian intervensi dapat menyediakan dukungan yang terkuat, terutama ketika bukaan dapat dilakukan secara acak. Karena tidak etis dan/atau tidak praktis untuk menentukan banyak bukaan sebagai kajian epidemiologis. Satu alternatif yang mungkin adalah dengan menghilangkan bukaan dan melihat apakah penyakit menurun, kecuali jika proses kausal dianggap tidak dapat lagi dibalikkan.
Misalnya, pellagra, kudis, HDFP, LRC-CPPT, MRFIT.
  • Analogi
Apakah pernah ada situasi yang serupa di masa lalu? (misalnya rubella, thalidomide selama kehamilan)
Pengecualian bagi temporalitas, tidak ada kriteria yang absolut, karena asosiasi kausal dapat sangat lemah, relatif non-spesifik, diobservasi tidak konsisten, dan dalam konflik dengan pengungkapan penmahaman biologis. Tetapi, setiap kriteria yang memperkuat jaminan kami dalam mencapai penilaian kausalitas.
Beberapa dari kriteria (misalnya, koherensi, tahapan biologis, spesifisitas, dan mungkin juga kekuatan) dapat dirumuskan dalam bentuk isu yang lebih umum dari konsistensi data yang diobservasi dengan model hipotesisasi etiologis (biasanya biologis). Sebagai contoh, tahapan biologis tidak harus monoton, seperti dalam kasus dosis radiasi tinggi yang mana akan mengarah kepada pembunuhan sel-sel dan karena itu menurunkan kemungkinan perkembangan tumor. Serupa dengan itu, spesifisitas dapat dipakai pada situasi-situasi tertentu tetapi tidak untuk situasi lain, tergantung pada proses patofisiologis yang dihipotesiskan.